
Portalssi, Samahani : Suasana di UPTD Mekanisasi Pertanian Dinas Pertanian Aceh Besar pagi itu berbeda dari biasanya. Di halaman yang biasanya lengang, kini terparkir berjejer alat dan mesin pertanian baru—Alsintan—yang siap disalurkan kepada kelompok tani dari berbagai penjuru Aceh Besar. Di balik keberadaan mesin-mesin canggih itu, berdiri sosok yang bekerja diam-diam namun berdampak besar: Nabhani, S.I.Kom, yang akrab disapa Pak Ben, Ketua Tani Merdeka Aceh Besar.
Pak Ben bukan sekadar datang membawa kabar baik. Ia datang membawa hasil dari perjuangan panjang. Bersama Dinas Pertanian Aceh Besar, ia mengadvokasi langsung kebutuhan para petani hingga ke Kementerian Pertanian RI. Hasilnya bukan janji, melainkan kenyataan: Alsintan kini bisa dinikmati oleh petani-petani kecil di Aceh Besar. Tak banyak organisasi tani yang memilih jalur advokasi senyap seperti ini. Di saat banyak yang masih sibuk mengeluh soal kendala produksi, Tani Merdeka justru membawa pulang solusi.
“Ketahanan pangan bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat. Di Aceh Besar, kami buktikan bahwa organisasi tani bisa jadi ujung tombak perubahan,” ujar Pak Ben melalui rilis pers yang diterima media ini, Selasa, 3 Juni 2025. Ia tak sendiri. Pemerintah Kabupaten Aceh Besar di bawah kepemimpinan H. Muharram Idris mendukung penuh langkah ini. Sinergi antara organisasi tani dan pemerintah menjadi fondasi penting dalam membangun sektor pertanian yang lebih mandiri, kuat, dan modern.
Pak Ben sadar, pertanian bukan hanya soal tanah dan cuaca. Ia soal akses dan keberpihakan. Selama ini, banyak kelompok tani mengeluh tentang betapa sulitnya mendapatkan alat produksi yang layak. Bukan karena mereka tak mau maju, tapi karena pintu-pintu bantuan terlalu jauh dan terlalu rumit. Di sinilah Tani Merdeka hadir, bukan hanya sebagai organisasi pendamping, tapi sebagai jembatan harapan. Mereka menyisir kebutuhan para petani, mendata secara rinci, lalu menyampaikan dengan bahasa yang dipahami birokrasi.
Bagi Pak Ben, keberhasilan menyalurkan Alsintan ini bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan yang lebih besar. Ia menyadari, alat saja tak cukup. Petani juga butuh benih, pupuk, air, lahan, dan tentu saja data yang akurat. Tanpa data yang menyatu lintas lembaga, program sebaik apa pun akan tersendat. Karena itu ia mendorong lahirnya sistem satu data pertanian di Aceh Besar agar arah kebijakan tak lagi didasarkan pada dugaan, tapi kebutuhan nyata di lapangan.
Ia juga tak lupa memberi peringatan keras kepada para penerima bantuan. Alsintan ini, tegasnya, adalah aset negara. Dipindah tangankan ke pihak lain? Itu pelanggaran hukum. “Gunakan di sawahmu, bukan untuk disewakan ke luar. Jangan jadi bagian dari masalah. Jadilah bagian dari solusi,” tegasnya dalam rilis yang sama.
Langkah Tani Merdeka Aceh Besar ini mendapat dukungan penuh dari Ketua DPW Tani Merdeka Provinsi Aceh, Cut Muhammad. Menurutnya, apa yang dilakukan Pak Ben layak dijadikan contoh bagi daerah lain. Di tengah situasi pertanian yang makin kompleks, mereka hadir tidak dengan keluhan, tetapi dengan kerja nyata. Mereka menunjukkan bahwa organisasi tani bukan hanya ada di spanduk pertemuan, tapi berdiri kokoh di tengah sawah, di samping petani.
Bagi para petani di Aceh Besar, hari itu adalah momentum penting. Bukan hanya karena mereka membawa pulang alat pertanian modern, tapi karena mereka tahu: mereka tidak sendiri. Ada yang memperjuangkan mereka. Ada yang datang bukan untuk menuntut, tapi untuk mengantar langsung alat bantu kehidupan. Dari Samahani, semangat itu berangkat. Menyebar ke sawah-sawah Aceh Besar. Menumbuhkan bukan hanya padi, tapi keyakinan bahwa kemerdekaan petani bukan utopia—tapi sesuatu yang bisa dicapai, selama ada yang mau berjuang sungguh-sungguh. (**)